Miliki Sarjana Pertanian Terbanyak di Dunia, Indonesia Tetap Hobi Impor






Bogor- Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor berupaya mendorong penggunaan hasil pertanian lokal sebagai sebuah kebutuhan sekaligus penguatan ketahanan pangan nasional. Sejalan dengan itu, para akademisi ini juga menolak kebijakan impor produk pertanian.

Ketua Himpunan Alumni IPB Bambang Hendroyono menyatakan para akademisi menyatakan keprihatinannya dengan besarnya jumlah impor produk pertanian. Dirjen Bina Usaha Kehutanan di Kementerian Kehutanan ini menegaskan, impor produk pertanian menyengsarakan petani Indonesia.

"Mengimpor produk pertanian, sayur, buah-buahan, ikan, daging sapi, sungguh suatu hal menyakitkan bagi petani di Indonesia. Karena apa pun alasannya, impor akan meruntuhkan motivasi petani dalam menghasilkan produk-produk pertanian. Kasihan petani-petani kita, mereka sulit untuk sejahtera," kata Bambang seperti dilansir Antara, Senin (19/8/2013).

Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik, impor beras selama Januari-Juni 2013 tercatat sebesar 239.000 ton atau USD 124,4 juta. Sementara itu pada periode yang sama, tercatat 1,3 juta ton atau USD 393 juta jagung impor masuk ke Indonesia.

Demikian pula dengan impor kedelai pada periode Januari-Juni 2013 yang menembus 826.000 ton atau USD 509,5 juta. Impor Tepung terigu mencapai 82.501 ton atau USD 36,9 juta. Bahkan, garam termasuk komoditas yang diimpor. Selama Januari-Juni 2013 impor garam tercatat mencapai 923.000 ton atau senilai USD 43,1 juta.

Bambang sendiri mengaku heran dengan kondisi Indonesia yang terlalu mengandalkan impor. Padahal inovasi pertaniannya yang sangat banyak. Demikian pula jumlah sarjana pertaniannya. Indonesia tercatat memiliki mahasiswa pertanian dan sarjana pertanian terbanyak di dunia saat ini, namun impor produk pertaniannya tak terkendali. Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan kualitas petani, memperbaiki infrastruktur pertanian dan mempermudah skema pembiayaan sektor pertanian. Dia juga menyatakan perlu adanya dukungan bersama dari sektor industri dan kebijakan politik yang kuat.
Merdeka.com

0 komentar: